Kajian Sastra Bandingan Puisi The Young Dead Soldiers karya
Archibald MacLiesh dengan Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar; Pendekatan
Psikologi Sastra
Disusun guna memenuhi tugas mata Kulian Sastra Bandingan
Pengampu: Miftakhul Huda, S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh:
Luqmanul Hakim A 310
100 072
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk (1) membandingkan antara dua karya sastra yang berbeda, (2)
mendeskripsikan biografi Archibald MacLiesh dan Chairil Anwar, (3)
mendiskripsikan historis puisi The Death Young Soldiers dan
Krawang-Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Subjek
penelitian ini adalah puisi The Death Young Soldiers karya Archibald
MacLiesh dengan salah satu karya populer Chairil Anwar yang berjudul
Krawang-Bekasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) perbedaan dua karya satra
antara Archibald MacLiesh dan Chairil Anwar, (2) biografi Archibald MacLiesh
dan Chairil Anwar, (3) historis puisi The Death Young Soldiers dan
Krawang-Bekasi.
Kata kunci : sastra
bandingan, puisi, pendekatan psikologi sastra
I.
Latar Belakang
Sohaimi (dalam Endraswara, 2011) memberikan pandangan yang cukup
penting untuk diperhatikan. Ia menyatakan bahwa ‘sastra bandingan’ lebih
berpijak pada penelitian antardisiplin dengan teori dan pendekatan yang jelas.
Sedangkan ‘bandingan sastra’ cenderung bersifat binari, yaitu membandingkan dua
karya sastra (Endraswara, 2011:103).
Ada beberapa metode atau pendekatan dalam satra bandingan, antara
lain biografis, sosiologis, psikologis, antropologis, historis, mitopoik,
ekspresif, mimesis, pragmatis, objektif. Dalam hal ini peneliti menggunakan
pendekatan psikologi untuk menganalisis dua karya sastra yang berbeda.
Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna, 2012) menunjukkan empat model pendekatan psikologis
yang dikaitkan dengan pengarang proses kreatif karya sastra, dan pembaca.
Meskipun demikian pendekatan psikologis pada dasar berhubungan dengan tiga
gejala utama yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca (Ratna, 2012:61).
II.
Kajian Teori
Istilah ‘sastra’ dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dijumpai
pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan
keberadaannya tidak merupakan keharusan (Jabrohim, 2001:9).
Sohaimi (2001:viii) dalam Endraswara (2011:103) menyatakan bahwa
“sastra bandingan” lebih berpijak pada penelitian antar disiplin dengan teori
dan pendekatan yang jelas. “bandingan sastra” cenderung bersifat binari, yaitu
membandingkan dua karya sastra (Endraswara, 2011:103).
Sastra bandingan merupakan cabang ilmu sastra, yang termasuk ke
dalam disiplin keilmuan humaniora, dan menelusuri jejak filosofis sastra
bandingan (Endraswara. 2011:139).
Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna, 2012) menunjukkan empat model pendekatan psikologis
yang dikaitkan dengan pengarang proses kreatif karya sastra, dan pembaca.
Meskipun demikian pendekatan psikologis pada dasar berhubungan dengan tiga
gejala utama yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca (Ratna, 2012:61).
III.
Biografi Pengarang
1.
Archibald
MacLiesh (penyair The Young Dead Soldiers)
Archibald MacLeish lahir di Glencoe, Illinois, pada tanggal 7 Mei
1892. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses, dan ibunya pernah menjadi
instruktur perguruan, mereka melihat itu bahwa MacLeish berpendidikan. Dia
bersekolah di sekolah umum di Glencoe, dan pada usia lima belas ia dikirim ke
sebuah akademi persiapan perguruan tinggi di Connecticut. Dia mulai belajar
kuliah di Yale pada tahun 1911.
Sebelum kuliah, MacLeish telah hanya rata-rata siswa. Di Yale,
bagaimanapun, dia mulai menulis puisi dan fiksi untuk majalah sastra, unggul
dalam polo air dan sepak bola, mendapatkan nilai tinggi, dan terpilih ke Phi
Beta Kappa kehormatan masyarakat. Setelah lulus pada tahun 1915, ia masuk Harvard
Law School, berharap bahwa karir di bidang hukum akan memberinya cara untuk
menertibkan dari kekacauan, seperti puisi lakukan. Dia menikahi Ada Hitchcock
pada tahun 1916, menjabat sebentar di tentara, menerbitkan buku pertamanya
puisi, Tower of Ivory,
pada tahun 1917, dan lulus pertama di kelas sekolahnya hukum pada tahun 1919.
Dia mengajar di Harvard pemerintah untuk waktu yang singkat dan kemudian
bekerja sebagai seorang pengacara di Boston, tetapi tidak pernah kehilangan
pengabdiannya untuk menulis puisi.
Pada tahun 1923, MacLeish pindah dengan keluarganya ke Paris,
bertekad untuk menjadi penyair yang serius. Selama periode ini, banyak penulis
Amerika dan Eropa yang penting adalah tinggal di Paris, dan MacLeish menjadi
ramah dengan mereka, bertekad untuk belajar dari mereka. Dia belajar secara
otodidak Italia, sehingga ia bisa mempelajari karya Dante abad keempat
belas penyair Alighieri, dan ia mempelajari sejarah puisi Inggris juga. Ini
lima tahun mengubah karyanya, memberinya gaya matang yang senang dia dan para
kritikus. Ketika ia kembali ke rumah, ia mampu mencari nafkah sebagai penulis
dan membeli sebuah peternakan kecil di Massachusetts, di mana ia dan Ada
tinggal bersama sampai kematiannya.
Kehendaknya untuk membawa ketertiban dan harmoni bagi eksistensi
manusia informasi karir MacLeish untuk enam puluh tahun ke depan. Ia
menerbitkan lebih dari lima puluh buku puisi, drama, dan esai, tapi ia juga
menerima posisi sebagai Pustakawan Kongres, Asisten Menteri Luar Negeri, dan
bagian dari Delegasi AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membentuk United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organisasi (UNESCO). Dia
percaya bahwa tugas penyair adalah untuk mengatasi masalah sosial kontemporer
dan untuk mengajukan pertanyaan penting. Kesusahannya pada pengeboman Dresden,
London, dan Hiroshima membuatnya bertanya-tanya bagaimana manusia bisa merespon
dengan harapan terhadap penderitaan itu. Dia mengajukan pertanyaan ini dalam,
bermain 1.958 JB, menceritakan kembali dari kisah Alkitab tentang Ayub, yang
membawa beberapa penghargaan MacLeish dan terbesar kesuksesan finansial nya.
Selama karirnya, MacLeish memenangkan tiga Pulitzer Prize,
National Book Award, Tony Award, Academy Award untuk skenario terbaik, dan
hampir dua lusin gelar kehormatan. Pada tahun 1977, ia menerima Presidential
Medal of Freedom. Dia meninggal pada tanggal 20 April 1982, hanya tiga minggu
sebelum simposium nasional untuk menghormati kehidupan dan pekerjaan.
2.
Chairil
Anwar (penyair Karawang-Bekasi)
Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam
karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8
Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih
dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori
seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil
Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil
Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri
Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya
Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian
keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia
dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai,
dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil
mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan
Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar
sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak
satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah
perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia
berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil
menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi
jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti:
Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara
tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat
dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam
hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat
neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar
biasa pedih:
“Bukan
kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu
menerima segala tiba
Tak
kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka
maha tuan bertahta”
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang
paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan
sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil
acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal
kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat
suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia,
salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan,
maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat
untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap,
menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera
setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu
dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis
merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta
jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya
Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya
beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan
tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau
yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku :Deru Campur Debu (1949);
Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir
(1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi
dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa
Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin
dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak“The
Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung
Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku”
dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata
Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati
rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang”
(dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan
trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan
kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia.
Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di
Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati
sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau
pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah
satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( “Aku
mau hidup Seribu Tahun lagi!”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan
karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur
ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan
“Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang
Chairil Anwar. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi
dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya
kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku.
Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis
yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam
puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah
menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan
kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta
cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi
kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut.
Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah
penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia
dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi
oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu
diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam
dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak
Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang
(1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh
Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya
diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia
Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel, Indonesian
poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas
indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca,
1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New
York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh
Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New
York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan
diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore:
University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte,
Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice
of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel
(Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar
antara lain:
1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian
Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudajaan (Djakarta, 1953);
2. Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag:
Martinus Nijhoff, 1972);
3. Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar”
(Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas
Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974);
4. S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and
Chairil Anwar” (New York, 1976);
5. Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jawa,
1976);
6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar,
Auckland, 1976;
7. H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983);
8. Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam
Ratulangi, 1984);
9. Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern”
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985);
10. Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil
Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
11.
Pamusuk Eneste,
“Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995);
12.
Zaenal Hakim, “Edisi
kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).
IV.
Parafrase dan Histori Karya Sastra
1.
The
Death Young Soldiers karya
Archibald MacLiesh
The Young Dead Soldier
Nevertheless, they are
heard in the still houses:
who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.
They say: We were young. We have died.
Remember us.
They say: We have done what we could
but until it is finished it is not done.
They say: We have given our lives but until it is finished
no one can know what our lives gave.
They say: Our deaths are not ours: they are yours,
they will mean what you make them.
They say: Whether our lives and our deaths were for
peace and a new hope or for nothing we cannot say,
it is you who must say this.
We leave you our deaths. Give them their meaning.
We were young, they say. We have died; remember us.
who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.
They say: We were young. We have died.
Remember us.
They say: We have done what we could
but until it is finished it is not done.
They say: We have given our lives but until it is finished
no one can know what our lives gave.
They say: Our deaths are not ours: they are yours,
they will mean what you make them.
They say: Whether our lives and our deaths were for
peace and a new hope or for nothing we cannot say,
it is you who must say this.
We leave you our deaths. Give them their meaning.
We were young, they say. We have died; remember us.
Terjemahan The Young Dead Soldiers karya Archibald Macliesh
Prajurit
Mati Muda
Namun
demikian, mereka terdengar di rumah-rumah masih:
yang
belum mendengar mereka?
Mereka
memiliki keheningan yang berbicara bagi mereka pada malam hari
dan
ketika jumlah jam.
Mereka
mengatakan: Kami masih muda. Kami telah meninggal.
Ingat
kita.
Mereka
mengatakan: Kami telah melakukan apa yang kita bisa
tetapi
sampai selesai itu tidak dilakukan.
Mereka
mengatakan: Kami telah memberikan hidup kita, tetapi sampai selesai
tidak
ada yang bisa tahu apa hidup kita berikan.
Mereka
mengatakan: kami adalah kematian bukan milik kita: mereka adalah milikmu,
mereka
akan berarti apa yang Anda membuat mereka.
Mereka
mengatakan: Apakah hidup kita dan kematian kita adalah untuk
perdamaian
dan harapan baru atau untuk apa-apa kita tidak bisa mengatakan,
itu
adalah Anda yang harus mengatakan ini.
Kami
meninggalkan Anda kematian kami. Beri mereka maknanya.
Kami
masih muda, kata mereka. Kami telah mati, ingat kita.
Parafrase
Puisi The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLiesh
Prajurit Mati Muda
Kendati demikian, para prajurit muda
tersebut masih terdengar hidup di rumah-rumah mereka, lalu apakah masih ada
yang belum mengetahuinya ? Mereka berbisara kepada para tentara muda yang lain
pada malam hari ketika sudah hening dan sudah benar-benar larut malam. Mereka
mengatakan kalau mereka mati ketika usia mereka masih muda, mereka juga meminta
untuk senantiasa mengingat mereka. Mereka melakukan perjuangan sampai titik
darah penghabisan hingga mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Mereka telah
rela mengorbankan hidup mereka, akan tetapi tidak ada yang mau mengetahui untuk
apa kami lakukan hal itu. Mereka mengatakan bahwa kematian adalah milik kami,
dan bukan urusan mereka, dan apa yang kami perbuat itu adalah urusan kami. Para
prajurit muda itu menanyakan bahwa apakah pengorbanan kami adalah untuk
perdamaian ? biarkanlah mereka yang akan menilainya. Yang kami tinggalkan untuk
mereka adalah kematian kamu yang masih muda ini, jadi jangan lupakan kami.
Historis Karya Sastra Puisi The Young Dead Soldiers karya
Archibald MacLiesh
Dekade pertengahan abad ke-20 adalah
masa kemakmuran besar dan optimisme untuk Amerika Serikat, itu, dengan
pengukuran banyak, bangsa terkuat di dunia, dengan ekonomi yang sehat,
pertumbuhan populasi, dan budaya penting itu adalah iri banyak negara lain.
Namun, era kedamaian dan kepuasan hanya tiba setelah pertumpahan darah
mengerikan dari Perang Dunia kedua, di mana lebih dari 400.000 orang Amerika
kehilangan nyawa mereka dalam pelayanan negara mereka.
Penyair Archibald MacLeish terutama
menyadari pentingnya pengorbanan ini. Sebagai seorang pemuda, ia menjabat
sebagai perwira artileri dalam Perang Dunia I dan telah menyaksikan penderitaan
dan kematian di medan perang Eropa. Selama Perang Dunia II, ia mengambil
pelayanan publik sekali lagi, melayani sebagai Pustakawan Kongres sementara
masih menulis puisi. Ketika Perpustakaan Kongres mengadakan upacara peringatan
untuk semua anggota stafnya yang telah meninggal dalam perang, MacLeish
menyumbangkan sebuah puisi yang kuat yang tidak hanya memperingati orang mati,
tapi juga membuat jelas bahwa mereka yang selamat melahirkan tanggung jawab
khusus untuk membuat kematian dari para prajurit yang berarti.
Ketika Anda membaca puisi ini,
berpikir tentang apa puisi menunjukkan sebagai cara yang mungkin untuk hidup
sampai seperti pengorbanan besar. Anda juga mungkin berpikir tentang
pengorbanan yang orang lain telah dibuat untuk Anda.
2.
Krawang-Bekasi
karya Chairil Anwar
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Parafrase
Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar
Krawang-Bekasi
Jasad kami yang sudah mati diantara Krawang dan Bekasi ini tidak
akan bisa lagi berteriak untuk memekikkan kata Merdeka dan mengangkat senjata
untuk berperang. Akan tetapi siapa yang tidak bisa mendengarkan derap langkah
kami yang senantiasa maju dengan hati yang berdebar ? Kami hanya ingin
berbicara kepadamu dalam keheningan malam yang sepi ini. Jikalah dalam dada ini
merasa hampa dan jam di dinding yang terus perdetak menandakan waktu yang terus
berjalan. Kami sudah mati dalam usia yang masih muda dan jasad kami diselimuti
oleh debu. Maka kenanglah kami, jangan lupakan perjuangan kami. Kami sudah berjuang
dengan segenap kemampuan kami, tapi perjuangan belumlah berakhir sampai di sini
saja, ini belumlah berarti apa-apa. Kami sudah mengorbankan nyawa, tapi ini
belum bisa memberikan makna pengorbanan ribuan jiwa yang lain. Sekarang kami
tinggallah tulang-belulang yang tidak ada artinya. Tapi ini adalah milik kalian
yang sudah berkorban nyawa untuk kalian atau untuk kemerdekaan ? ataukah jiwa
kami mati sia-sia ? kami tidak bisa menilai, semua tergantung pada penilaian
kalian semua. Kami berbicara kepadamu dalam keheningan malam yang kian sunyi.
Kenanglah perjuangan kami, teruskanlah perjuangan kami. Demi perjuangan para
pahlawan yang akan membawa kita pada kemerdekaan. Sekarang kami hanyalah mayat
yang tidak ada artinya lagi. Berikanlah arti pada kematian kami. Kenanglah kami
walau hanya tinggal jasad yang tak ada artinya di antara Krawang dan Bekasi.
Historis Karya Sastra Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar
Puisi yang menggambarkan bagaimana beratnya
mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh kedua Bung besar kita, Bung
Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Puisi itu adalah bukti nyata
bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh para anggota keluarga yang
ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan perang yang dilakukan
oleh tentara NICA Belanda.
Puisi Krawang-Bekasi ini ditulis untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan
tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya,
apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara
Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan
berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban
pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan
mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa
Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu,
ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober
1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35
orang penduduk dibunuh.
SIMPULAN
Pendekatan
psikologi sastra berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya
sastra, dan pembaca. Dalam hal ini pengarang antara kedua puisi yang
dibandingkan memiliki perbedaan pada latar belakang kehidupannya.
Archibald
MacLiesh berasal dari keluarga yang terpandang berpendidikan. Sedangkan Chairil
Anwar berasal dari latar belakang keluarga yang berantakan, karena kedua orang
tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi.
Dari segi karya
sastranya, kedua puisi tersebut memiliki beberapa kesamaan yaitu bertemakan
tentang kisah perjuangan para pemuda dalam melawan penindasan yang terjadi pada
masa ditulisnya puisi tersebut oleh pengarangnya masing-masing. Kedua puisi
tersebut juga ditulis berdasarkan kejadian dan hal-halyang dilihat oleh
pengarang sehingga terinspirasi untuk menulis kedua puisi tersebut.
Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi
Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra.
Jogjakarta: Hanindita Graha Widia.
Kutha, Nyoman Ratna. 2012. Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Takdir, Sutan Alisjahbana. 2008. Kerikil
Tajam dan Yang Terrampasdan Yang Putus. Jakarta; Dian Rakyat.
Wijaya,
Rony. 2012. “Biografi Chairil Anwar” (online), (http://biografi.rumus.web.id/biografi-chairil-anwar/,
diakses tanggal 4 Januari 2013 pukul 18.40).
2010.
“Mengenang Karawang-Bekasi” (online), (http://contry.wordpress.com/mengenang-karawang-bekasi/,
diakses tanggal 4 Januari 2013 pukul 23.30).
2011.”The
Young Dead Soldiers” (online), (http://www.loc.gov/teachers/lyrical/poems/dead_soldiers.html,
diakses tanggal 3 Januari 2013 pukul 21.35).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar