Laman

Senin, 14 Januari 2013

The Young Dead Soldiers vs Krawang-Bekasi: Pendekatan Psikologi Sastra


Kajian Sastra Bandingan Puisi The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLiesh dengan Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar; Pendekatan Psikologi Sastra
Disusun guna memenuhi tugas mata Kulian Sastra Bandingan
Pengampu: Miftakhul Huda, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Luqmanul Hakim        A 310 100 072

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) membandingkan antara dua karya sastra yang berbeda, (2) mendeskripsikan biografi Archibald MacLiesh dan Chairil Anwar, (3) mendiskripsikan historis puisi The Death Young Soldiers dan Krawang-Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Subjek penelitian ini adalah puisi The Death Young Soldiers karya Archibald MacLiesh dengan salah satu karya populer Chairil Anwar yang berjudul Krawang-Bekasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) perbedaan dua karya satra antara Archibald MacLiesh dan Chairil Anwar, (2) biografi Archibald MacLiesh dan Chairil Anwar, (3) historis puisi The Death Young Soldiers dan Krawang-Bekasi.
Kata kunci : sastra bandingan, puisi, pendekatan psikologi sastra

I.            Latar Belakang
Sohaimi (dalam Endraswara, 2011) memberikan pandangan yang cukup penting untuk diperhatikan. Ia menyatakan bahwa ‘sastra bandingan’ lebih berpijak pada penelitian antardisiplin dengan teori dan pendekatan yang jelas. Sedangkan ‘bandingan sastra’ cenderung bersifat binari, yaitu membandingkan dua karya sastra (Endraswara, 2011:103).
Ada beberapa metode atau pendekatan dalam satra bandingan, antara lain biografis, sosiologis, psikologis, antropologis, historis, mitopoik, ekspresif, mimesis, pragmatis, objektif. Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan psikologi untuk menganalisis dua karya sastra yang berbeda.
Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna, 2012)  menunjukkan empat model pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang proses kreatif karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian pendekatan psikologis pada dasar berhubungan dengan tiga gejala utama yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca (Ratna, 2012:61).


II.            Kajian Teori
Istilah ‘sastra’ dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan (Jabrohim, 2001:9).
Sohaimi (2001:viii) dalam Endraswara (2011:103) menyatakan bahwa “sastra bandingan” lebih berpijak pada penelitian antar disiplin dengan teori dan pendekatan yang jelas. “bandingan sastra” cenderung bersifat binari, yaitu membandingkan dua karya sastra (Endraswara, 2011:103).
Sastra bandingan merupakan cabang ilmu sastra, yang termasuk ke dalam disiplin keilmuan humaniora, dan menelusuri jejak filosofis sastra bandingan (Endraswara. 2011:139).
Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna, 2012)  menunjukkan empat model pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang proses kreatif karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian pendekatan psikologis pada dasar berhubungan dengan tiga gejala utama yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca (Ratna, 2012:61).

III.            Biografi Pengarang
1.         Archibald MacLiesh (penyair The Young Dead Soldiers)
Archibald MacLeish lahir di Glencoe, Illinois, pada tanggal 7 Mei 1892. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses, dan ibunya pernah menjadi instruktur perguruan, mereka melihat itu bahwa MacLeish berpendidikan. Dia bersekolah di sekolah umum di Glencoe, dan pada usia lima belas ia dikirim ke sebuah akademi persiapan perguruan tinggi di Connecticut. Dia mulai belajar kuliah di Yale pada tahun 1911.
Sebelum kuliah, MacLeish telah hanya rata-rata siswa. Di Yale, bagaimanapun, dia mulai menulis puisi dan fiksi untuk majalah sastra, unggul dalam polo air dan sepak bola, mendapatkan nilai tinggi, dan terpilih ke Phi Beta Kappa kehormatan masyarakat. Setelah lulus pada tahun 1915, ia masuk Harvard Law School, berharap bahwa karir di bidang hukum akan memberinya cara untuk menertibkan dari kekacauan, seperti puisi lakukan. Dia menikahi Ada Hitchcock pada tahun 1916, menjabat sebentar di tentara, menerbitkan buku pertamanya puisi, Tower of Ivory, pada tahun 1917, dan lulus pertama di kelas sekolahnya hukum pada tahun 1919. Dia mengajar di Harvard pemerintah untuk waktu yang singkat dan kemudian bekerja sebagai seorang pengacara di Boston, tetapi tidak pernah kehilangan pengabdiannya untuk menulis puisi.
Pada tahun 1923, MacLeish pindah dengan keluarganya ke Paris, bertekad untuk menjadi penyair yang serius. Selama periode ini, banyak penulis Amerika dan Eropa yang penting adalah tinggal di Paris, dan MacLeish menjadi ramah dengan mereka, bertekad untuk belajar dari mereka. Dia belajar secara otodidak Italia, sehingga ia bisa mempelajari karya Dante abad keempat belas penyair Alighieri, dan ia mempelajari sejarah puisi Inggris juga. Ini lima tahun mengubah karyanya, memberinya gaya matang yang senang dia dan para kritikus. Ketika ia kembali ke rumah, ia mampu mencari nafkah sebagai penulis dan membeli sebuah peternakan kecil di Massachusetts, di mana ia dan Ada tinggal bersama sampai kematiannya.
Kehendaknya untuk membawa ketertiban dan harmoni bagi eksistensi manusia informasi karir MacLeish untuk enam puluh tahun ke depan. Ia menerbitkan lebih dari lima puluh buku puisi, drama, dan esai, tapi ia juga menerima posisi sebagai Pustakawan Kongres, Asisten Menteri Luar Negeri, dan bagian dari Delegasi AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membentuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisasi (UNESCO). Dia percaya bahwa tugas penyair adalah untuk mengatasi masalah sosial kontemporer dan untuk mengajukan pertanyaan penting. Kesusahannya pada pengeboman Dresden, London, dan Hiroshima membuatnya bertanya-tanya bagaimana manusia bisa merespon dengan harapan terhadap penderitaan itu. Dia mengajukan pertanyaan ini dalam, bermain 1.958 JB, menceritakan kembali dari kisah Alkitab tentang Ayub, yang membawa beberapa penghargaan MacLeish dan terbesar kesuksesan finansial nya.
Selama karirnya, MacLeish memenangkan tiga Pulitzer Prize, National Book Award, Tony Award, Academy Award untuk skenario terbaik, dan hampir dua lusin gelar kehormatan. Pada tahun 1977, ia menerima Presidential Medal of Freedom. Dia meninggal pada tanggal 20 April 1982, hanya tiga minggu sebelum simposium nasional untuk menghormati kehidupan dan pekerjaan.

2.         Chairil Anwar (penyair Karawang-Bekasi)
Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku :Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak“The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( “Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang Chairil Anwar. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1.      Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953);
2.      Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);
3.      Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974);
4.      S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976);
5.      Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
6.      Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976;
7.      H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983);
8.      Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
9.      Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985);
10.  Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
11.  Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995);
12.  Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

IV.            Parafrase dan Histori Karya Sastra
1.         The Death Young Soldiers karya Archibald MacLiesh
The Young Dead Soldier

Nevertheless, they are heard in the still houses:
who has not heard them?

They have a silence that speaks for them at night
and when the clock counts.

They say: We were young. We have died.
Remember us.

They say: We have done what we could
but until it is finished it is not done.

They say: We have given our lives but until it is finished
no one can know what our lives gave.

They say: Our deaths are not ours: they are yours,
they will mean what you make them.

They say: Whether our lives and our deaths were for
peace and a new hope or for nothing we cannot say,
it is you who must say this.

We leave you our deaths. Give them their meaning.
We were young, they say. We have died; remember us.

Terjemahan The Young Dead Soldiers karya Archibald Macliesh
Prajurit Mati Muda

Namun demikian, mereka terdengar di rumah-rumah masih:
yang belum mendengar mereka?

Mereka memiliki keheningan yang berbicara bagi mereka pada malam hari
dan ketika jumlah jam.

Mereka mengatakan: Kami masih muda. Kami telah meninggal.
Ingat kita.

Mereka mengatakan: Kami telah melakukan apa yang kita bisa
tetapi sampai selesai itu tidak dilakukan.

Mereka mengatakan: Kami telah memberikan hidup kita, tetapi sampai selesai
tidak ada yang bisa tahu apa hidup kita berikan.

Mereka mengatakan: kami adalah kematian bukan milik kita: mereka adalah milikmu,
mereka akan berarti apa yang Anda membuat mereka.

Mereka mengatakan: Apakah hidup kita dan kematian kita adalah untuk
perdamaian dan harapan baru atau untuk apa-apa kita tidak bisa mengatakan,
itu adalah Anda yang harus mengatakan ini.

Kami meninggalkan Anda kematian kami. Beri mereka maknanya.
Kami masih muda, kata mereka. Kami telah mati, ingat kita.

Parafrase Puisi The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLiesh

Prajurit Mati Muda

Kendati demikian, para prajurit muda tersebut masih terdengar hidup di rumah-rumah mereka, lalu apakah masih ada yang belum mengetahuinya ? Mereka berbisara kepada para tentara muda yang lain pada malam hari ketika sudah hening dan sudah benar-benar larut malam. Mereka mengatakan kalau mereka mati ketika usia mereka masih muda, mereka juga meminta untuk senantiasa mengingat mereka. Mereka melakukan perjuangan sampai titik darah penghabisan hingga mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Mereka telah rela mengorbankan hidup mereka, akan tetapi tidak ada yang mau mengetahui untuk apa kami lakukan hal itu. Mereka mengatakan bahwa kematian adalah milik kami, dan bukan urusan mereka, dan apa yang kami perbuat itu adalah urusan kami. Para prajurit muda itu menanyakan bahwa apakah pengorbanan kami adalah untuk perdamaian ? biarkanlah mereka yang akan menilainya. Yang kami tinggalkan untuk mereka adalah kematian kamu yang masih muda ini, jadi jangan lupakan kami.

Historis Karya Sastra Puisi The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLiesh

Dekade pertengahan abad ke-20 adalah masa kemakmuran besar dan optimisme untuk Amerika Serikat, itu, dengan pengukuran banyak, bangsa terkuat di dunia, dengan ekonomi yang sehat, pertumbuhan populasi, dan budaya penting itu adalah iri banyak negara lain. Namun, era kedamaian dan kepuasan hanya tiba setelah pertumpahan darah mengerikan dari Perang Dunia kedua, di mana lebih dari 400.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam pelayanan negara mereka.
Penyair Archibald MacLeish terutama menyadari pentingnya pengorbanan ini. Sebagai seorang pemuda, ia menjabat sebagai perwira artileri dalam Perang Dunia I dan telah menyaksikan penderitaan dan kematian di medan perang Eropa. Selama Perang Dunia II, ia mengambil pelayanan publik sekali lagi, melayani sebagai Pustakawan Kongres sementara masih menulis puisi. Ketika Perpustakaan Kongres mengadakan upacara peringatan untuk semua anggota stafnya yang telah meninggal dalam perang, MacLeish menyumbangkan sebuah puisi yang kuat yang tidak hanya memperingati orang mati, tapi juga membuat jelas bahwa mereka yang selamat melahirkan tanggung jawab khusus untuk membuat kematian dari para prajurit yang berarti.
Ketika Anda membaca puisi ini, berpikir tentang apa puisi menunjukkan sebagai cara yang mungkin untuk hidup sampai seperti pengorbanan besar. Anda juga mungkin berpikir tentang pengorbanan yang orang lain telah dibuat untuk Anda.

2.         Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar

Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa


Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi



Parafrase Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar

Krawang-Bekasi

Jasad kami yang sudah mati diantara Krawang dan Bekasi ini tidak akan bisa lagi berteriak untuk memekikkan kata Merdeka dan mengangkat senjata untuk berperang. Akan tetapi siapa yang tidak bisa mendengarkan derap langkah kami yang senantiasa maju dengan hati yang berdebar ? Kami hanya ingin berbicara kepadamu dalam keheningan malam yang sepi ini. Jikalah dalam dada ini merasa hampa dan jam di dinding yang terus perdetak menandakan waktu yang terus berjalan. Kami sudah mati dalam usia yang masih muda dan jasad kami diselimuti oleh debu. Maka kenanglah kami, jangan lupakan perjuangan kami. Kami sudah berjuang dengan segenap kemampuan kami, tapi perjuangan belumlah berakhir sampai di sini saja, ini belumlah berarti apa-apa. Kami sudah mengorbankan nyawa, tapi ini belum bisa memberikan makna pengorbanan ribuan jiwa yang lain. Sekarang kami tinggallah tulang-belulang yang tidak ada artinya. Tapi ini adalah milik kalian yang sudah berkorban nyawa untuk kalian atau untuk kemerdekaan ? ataukah jiwa kami mati sia-sia ? kami tidak bisa menilai, semua tergantung pada penilaian kalian semua. Kami berbicara kepadamu dalam keheningan malam yang kian sunyi. Kenanglah perjuangan kami, teruskanlah perjuangan kami. Demi perjuangan para pahlawan yang akan membawa kita pada kemerdekaan. Sekarang kami hanyalah mayat yang tidak ada artinya lagi. Berikanlah arti pada kematian kami. Kenanglah kami walau hanya tinggal jasad yang tak ada artinya di antara Krawang dan Bekasi.

Historis Karya Sastra Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar

Puisi yang menggambarkan bagaimana beratnya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh kedua Bung besar kita, Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh para anggota keluarga yang ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan perang yang dilakukan oleh tentara NICA Belanda.
Puisi Krawang-Bekasi ini ditulis untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.


SIMPULAN
Pendekatan psikologi sastra berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Dalam hal ini pengarang antara kedua puisi yang dibandingkan memiliki perbedaan pada latar belakang kehidupannya.
Archibald MacLiesh berasal dari keluarga yang terpandang berpendidikan. Sedangkan Chairil Anwar berasal dari latar belakang keluarga yang berantakan, karena kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi.
Dari segi karya sastranya, kedua puisi tersebut memiliki beberapa kesamaan yaitu bertemakan tentang kisah perjuangan para pemuda dalam melawan penindasan yang terjadi pada masa ditulisnya puisi tersebut oleh pengarangnya masing-masing. Kedua puisi tersebut juga ditulis berdasarkan kejadian dan hal-halyang dilihat oleh pengarang sehingga terinspirasi untuk menulis kedua puisi tersebut.


Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Jogjakarta: Hanindita Graha Widia.
Kutha, Nyoman Ratna. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Takdir, Sutan Alisjahbana. 2008. Kerikil Tajam dan Yang Terrampasdan Yang Putus. Jakarta; Dian Rakyat.
Wijaya, Rony. 2012. “Biografi Chairil Anwar” (online), (http://biografi.rumus.web.id/biografi-chairil-anwar/, diakses tanggal 4 Januari 2013 pukul 18.40).
2010. “Mengenang Karawang-Bekasi” (online), (http://contry.wordpress.com/mengenang-karawang-bekasi/, diakses tanggal 4 Januari 2013 pukul 23.30).
2011.”The Young Dead Soldiers” (online), (http://www.loc.gov/teachers/lyrical/poems/dead_soldiers.html, diakses tanggal 3 Januari 2013 pukul 21.35).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar