NAWANG WULAN
Karya: Subagio Sastrowardoyo
Dalam Tinjauan Struktural dan Semiotik
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Puisi
Pengampu: Adyana Sunanda
Disusun oleh:
Nama : Luqmanul Hakim
NIM : A 310 100 072
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kegiatan mentelaah sebuah karya
sastra merupakan suatu cara untuk mengetahui seluk-beluk dalam suatu karya
tersebut. Dalam teori pengkajian karya sastra puisi, terdapat beberapa tinjauan
ataupun pendekatan yang bisa dilakukan. Diantara tinjauan-tinjauan tersebut
adalah dengan tinjauan struktural dan tinjauan semiotik.
Tinjauan struktural atau pendekatan
analitis yaitu suatu pendekatan yang mencoba memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan gagasan itu, dan memahami unsur-unsur intrinsik dan mekanisme
hubungan dari setiap unsur tersebut. Sehingga mampu membangun keselarasan dan
kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk dan maknanya.
Sedangkan semiotik merupakan salah
satu pendekatan yang sedang diminati oleh para ahli sastra dewasa ini, tidak
terkecuali para peminat sastra di Indonesia. Akhir-akhir ini semakin banyak
diterbitkan tulisan yang menggunakan model dan konsep dari semiotika.
Semiotik menurut Sudjiman (1996)
adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sudjiman, 1996: 5).
Semiotika adalah ilmu tanda; istilah
tersebut berasal dari bahasa Yunani semieon yang berarti “tanda”. Tanda
terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu
lalu lintas, bendera, dan sebagainya.
PEMBAHASAN
A.
Nawang Wulan dalam Tinjauan Struktural.
Nawang Wulan
(Yang melindungi Bumi dan Padi)
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Lalu panggil aku turun di teratakmu
Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta.
1.
Struktur
Lahir:
a.
Diksi
/ Diction
·
Jangan
bicara denganku dengan bahasa dunia
·
Jangan
sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
·
Sambut
aku dengan bunga
·
Itu
darah dari duka dan cinta
·
Tapi
jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
·
Itu
darah yang mengalir dari duka dan cinta
b.
Imaji
/ Imagery
·
Jangan
bicara denganku dengan bahasa dunia (Imaji dengaran)
·
Jangan
sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa (Imaji rabaan)
·
Bunga
buat kekasih yang manis merindu (Imaji cecapan)
·
Lalu
panggil aku turun di teratakmu (Imaji dengaran)
c.
Kata
Konkret
·
Jangan
bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
·
Jangan
sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
·
Sambut
aku dengan bunga
·
Lalu
panggil aku turun di teratakmu
d.
Bahasa
Figuratif / Majas / Gaya Bahasa
·
Jangan
bicara denganku dengan bahasa dunia (Sinekdok/Totemproparte)
·
Itu
darah dari duka dan cinta (majas Personofikasi)
·
Bunga
buat maut yang diam menunggu (majas Personofokasi)
·
Ladang
minta digenang (majas Personifikasi)
e.
Irama
& Rima / Rythme & Rime
·
A-A-A-A
·
A-A-B-B
·
A-A-B-A
2.
Struktur
Bathin:
a.
Tema
Suatu penipuan dari laki-laki agar mendapatkan wanita yang
disukainya, walaupun pada akhirnya penipuan itu terbongkar.
b.
Rasa
Rasa
yang ingin disampaikan penyair dalam puisi ini adalah perasaan yang senang dan
penuh kasih sayang, walaupun pada awalnya dan akhirnya diliputi oleh
penyesalan.
c.
Nada
Penyair
memiliki sikap yang lembut dalam puisi ini. Menyatakan ungkapan untuk dikasihi
dan disayangi, juga untuk menyayangi.
d.
Amanat
Untuk
menadapatkan sesuatu yang baik, hendaknya kita juga menggunakan cara-cara yang
baik juga. Janganlah menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kita
inginkan tanpa mengindahkan yang lain.
B.
Nawang Wulan dalam Tinjauan Semiotika.
Nawang Wulan
(Yang melindungi Bumi dan Padi)
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Lalu panggil aku turun di teratakmu
Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta.
·
Analisis
Tinjauan ini diawali dengan
memperhatikan judul sajak tersebut. Karena judul ikut berperan dalam
menjelaskan isi sajak. Judul adalah indeks bagi teks karena merupakan nama
teks yang bersangkutan. Setelah membaca judul “Nawang Wulan”, segera saja
timbul pertanyaan, apa itu Nawang Wulan? Atau mungkin siapa itu Nawang Wulan?
Kata “Nawang Wulan” dapat ditinjau dari makna denotatifnya, yaitu “nama seorang
bidadari dalam cerita Jaka Tarub”. Kisah dari Nawang Wulan tersebut ternyata
dapat ditemukan dalam sajak, jika kita memperhatikan larik-larik berikut.
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
Kata “jangan” sangat identik dengan
maksud larangan ataupun pencegahan dari suatu tindakan. Akan tetapi jata
“jangan” dalam sajak ini lebih bermakna pada permohonan untuk melakukan suatu
hal pada sesuatu dengan alasan dan tujuan tertentu. Dan makna disini adalah
suatu permohonan untuk tidak bercakap dan berbicara menggunakan bahasa dunia,
karena mungkin bahasa dunia itu dinilai kasar dan cenderung tidak baik jika
dibandingkan dengan bahasa di surga yang semua serba sempurna. Disamping itu
juga terdapat permohonan untuk tidak menyentuh yang disini bermakna menjamah
ataupun menggauli. Karena mungkin tubuh orang di dunia ini penuh dengan dosa.
Berbeda dengan para penghuni surga yang masih terjaga kesuciannya.
Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Pada potongan sajak ini kata “sambut
aku dengan bunga” bukanlah berarti minta untuk disambut dengan menggunakan
bunga, akan tetapi lebih mengarah pada suatu permohonan untuk menerima
kedatangannya dengan kebaikan dan segala kemurahan hati, diperlakukan dengan
baik, dan tidak disakiti ataupun yang lainnya. Karena itu merupakan suatu yang
sangat berarti dalam kehudupan dan lebih dari segalanya. Apalah arti kesenangan
dan kesuksesan tanpa cinta dan kasih sayang, tentunya hidup akan jadi serasa
tak ada artinya.
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu
Kata “bunga” pada bari
pertama dan kedua dalam potongan sajak di atas bisa diartikan sebagai suatu
wujud kasih sayang dan cinta yang mendalam. Yaitu kasih sayang dan cinta untuk
jiwa baru yang terlahir ke dunia yang fana dari alam lain yaitu alam rahim.
Karena tentunya jiwa yang terlahir ke dunia pastilah membawa suatu amanah yang
berat. Hal tersebut juga bisa diperuntukkan pada baris yang kedua yaitu “Bunga
buat kekasih yang manis merindu”, yaitu suatu penghargaan kepada sang
kekasih karena kesabaran dan kesetiaannya pada pujaan sang hati dengan segala
kerinduan yang disimpannya. Yaitu segala kasih sayang dan cinta yang
diperuntukkan pada sang kekasih.
Sedangkan untuk kata “Bunga”
pada baris ketiga yang berbunyi “Bunga buat maut yang diam menunggu”
pada potongan sajak di atas tidaklah bisa disamakan dengan makna kata “bunga”
seperti pada baris yang sebelumnya. Makna kata “bunga” di sini lebih
mengarah pada penghargaan dan suatu penghormatan bahkan suatu wujud penantian
untuk maut atau kematian yang kelak pasti akan datang.
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Pada baris pertama potongan sajak
ini bermakna pada himbauan untuk memperhatikan sang buah hati ketika dia
menangis kelaparan, kapanpun dan bagaimanapun itu waktu dan keadaannya. Hal ini
dikarenakan anak adalah suatu anugerah sekaligus sebagai amanah dari yang Maha
Kuasa. Sedangkan pada baris kedua potongan sajak tersebut “Tapi jaga ladang yang
baru sehari digaru” adalah suatu pernyataan yang mengingatkan agar jangan
melupakan ladang sebagai sumber penghidupan. Karena ketika ladang tidak
menghasilkan padi, maka padi yang di lumbung akan berangsur-angsur habis dan
hal ini lah yang menjadikan Nawang Wulan menemukan selendangnya yang
disembunyikan oleh Jaka Tarub dan menjadikannya pergi meninggalkan anak dan
suaminya untuk kembali ke khayangan. Walaupun pada akhirnya bangsa khayangan tidak
bisa menerimanya kembali karena dia telah ternoda oleh manusia di bumi.
Anak minta ditimang
Lalu panggil aku turun di teratakmu
Ketika sang buah hati menangis, agar
berhenti dari tangisannya salah satu cara adalah dengan di adalah gendong dan
titimang-timang. Hal ini adalah mengkisahkan ketika Nawang Wulan sudah pergi
meninggalkan suami dan bayinya. Sebelum kepergiannya Nawang Wilan berpesan
kepada suaminya agar ketika nanti bayinya menangis ataupun minta susu,
hendaknya Jaka Tarub memanggil Nawang Wulan untuk menyusui bayinya. Hal ini ada
sangkut pautnya dengan baris kedua potongan syair di atas yang berbunyi “Lalu
panggil aku turun di teratakmu”. Itu ngartikan tanda bahwa Nawang Wulan
meminta suaminya Jaka Tarub untuk memanggilnya turun ketika bayinya menangis
minta susu.
Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta.
Kata “Dengan bunga” ini
bukanlah menggunakan bunga seperti yang sudah dibahas di atas. Tetapi merupakan
satu isyarat bahwa dalam memperlakukannya adalah dengan perlakuan yang mulia,
penuh dengan kasih sayang dan cinta. Sedangkan dalam kalimat “Itu darah yang
mengalir dari duka dan cinta” ini bisa diartikan sebagai hal yang mutlak
adanya. “Dari duka dan cinta” berarti perasaan cinta dan kasih sayang
ini akan tetap selalu ada dalam setiap suka dan duka. Ketika senang dan bahagia
ini akan tetap ada, demikian juga ketika dalam keaadaan duka dan susah hal ini
juga tidak akan hilang.
PENUTUP
Daftar
Pustaka
Sastrowardoyo,
Subagio. 1982. Daerah Perbatasan. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sudjiman,
Panuti, Aart Van Zoest. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar